Makalah Nahwu Kepingan Hal (الحال )


الحال باب

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Nahwu
Dosen Pengampu :  Mufidah, M. Pd.
 memahami dan mempelajari fatwa agama Islam yang terdapat pada al Makalah Nahwu Bab Hal (الحال )







Disusun Oleh :

Muhammad Fadholi    : 113211061
Muhammad Izzuddin   : 113211062
Nur Muttoharoh          : 113211068


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS NEGERI WALISONGO
 SEMARANG
2014

I.         PENDAHULUAN
Bahasa Arab ialah bahasa Al-Qur’an dan hadis. Umat islam tidak sanggup menggali, memahami dan mempelajari fatwa agama Islam yang terdapat pada al-Quran dan hadis tanpa mempunyai kemampuan menggali, memahami dan menguasai bahasa Arab dengan baik. Dalam upaya membuatkan wawasan berbahasa Arab, amat diharapkan adanya sebuah kajian kebahasaan, kemampuan menguasai bahas Arab ialah kunci dan syarat mutlak yang harus di miliki setiap orang yang hendak mengkaji fatwa islam secara luas dan mendalam.
  Ilmu nahwu ialah ilmu yang mempelajari wacana kaidah-kaidah yang dipakai dalam berbahasa Arab untuk mengetahui aturan kalimat dalam bahasa arab. Dalam ilmu nahwu dikenal istilah Haal. Kami pemakalah akan mencoba mengambarkan sedikit wacana ilmu nahwu dalam pecahan Haal.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Pengertian Haal?
B.     Apa sajakah Syarat-syarat Haal?
C.     Apa sajakah  Macam-macam  Haal?

III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Haal

الْحَالُ وَصْفٌ فَضْلَةٌ مُنْتَصِبُ * مُفْهِمُ فِي حَالِ كَفَرْداً أَذْهَبْ
“Haal ialah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan memdiberi keterangan keadaan seperi dalam contoh: فَرْداً أَذْهَبُ (aku akan pergi sendiri)”.[1]
melaluiataubersamaini istilah lain:

اَلْحَالُ هُوَ إِسْمٌ مَنْصُوْبٌ يُبَيْنُ هَيْئَةَ اْلفَاعِلِ أَوْ المفْعُوْلِ بِهِ حِيْنَ وُقُوْعِ الْفِعْلِ وَسُمَّي كَلٌّ مِنْهُمَا صَاحِبُ الحَالِ.
“Haal ialah isim yang dibaca nasab, yang mengambarkan wacana atau perilaku Fa’il atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
  • ·         Haal untuk mengambarkan Fa’il.
misal: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid sudah hadir secara berkendaraan. Lafad رَاكِيْباً berkedudukaan sebagai Haal dari lafazh زَيْدٌ yang mengambarkan keadaan Zaid waktu kehadiranya. Seperti yang terdapat di dalam firman Allah Swt. Berikut: فَخرَجَ مِنْهَا خَائِفًا =  Maka keluarlah Musa dari kota itu”. (Al-Qashash: 21) . Lafad خَائِفًا berkedudukan sebagai Haal fa’il lafadz  خرَجَ yeng mengambarkan keadaan Musa waktu keluarnya.
  • ·         Haal untuk mengambarkan Maf’ul bih
misal: رَكِبْتُ اَلْفَرَسَ مُسَرَّجًا = Aku berkendara dengan berpelana. Lafadz مُسَرَّجًا berkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang mengambarkan keadaan kuda waktu dipakai angkutan diatasnya. Dan menyerupai yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: وَاَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا = “kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.” (An-Nisa: 79). Lafadz رَسُوْلًا menjadi haal dari maf’ul bih aksara kaf  yang terdapat pada lafadz  وَاَرْسَلْنَاكَ.
  • ·         Haal untuk mengambarkan kedua-duanya (fa’il dan Maf’ul bih).
misal: لَقِيتُ عَبْدَ اَللَّهِ رَاكِبًا = Aku Bertemu Abdullah dengan berkendaraan. Yang dimaksud dengan berkendaraan  itu bisa Aku atau Abdullah atau keduanya.[3]
B.     Syarat-syarat Haal
Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:
1.      Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haal dengan lafadz ma’rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadz nakirah, menyerupai dalam contoh:وَحْدَهْ   اَمَنْتُ بِالله(aku diberiman kepada Allah). Kalimah وَحْدَهْ ialah isim ma’rifah secara lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan asumsi sebagai diberikut: اَمَنْتُ بِالله مُنْفَرِداً.[4]
Dalam hal ini Ibnu Malik mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَالْحَالُ إِنْ عُرِّفَ لَفْظاً فَاعْتَقِدْ  *تَنْكِيْرَهُ مَعْنًى كَوَحْدَكَ اجْتَهِدْ
“Haal jikalau ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah secara makna, menyerupai conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal dari isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,[5] sperti contoh:جَاءَ زَيْدٌ الرَاكِيْبَ
2.      Sesudah kalimat yang sempurna
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus setelah tepat kalamnya, yakni setelah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu tidak termasuk salah satu dari kedua pecahan lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal) dengan berlandasan firman Allah Swt.: وَلَا تَمْشِ فِيْ الأَرْضِ مَرَحًا (dan tidakbolehlah engkau berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37). [6]
3.      Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat.
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya (mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkanya yaitu:
a.       Hendaknya haal menlampaui nakirah.
misal:  فِيْهَا قَائِمًا رَجُلٌ(didalamnya terdapat seorang pria sedang berdiri).  lafadz قَائِمًا berkedudukan sebagai haal dari lafadz رَجُلٌ.
b.      Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
misal shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah menyerupai yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: فِيْ اَرْبَعَةِ اَيَامٍ سَوَاءً (dalam empat hari yang genap.(Fushsilat: 10). Lafadz  سَوَاءً berkedudkan sebagai haal dari lafadz  اَرْبَعَةِ.
c.       Hendaknya shahibul haal nakirah setelah nafi.
misal shahibul haal yang terletak setelah nafi:
 وَمَا اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ اِلَّاَ لَهَا مُنْذِرُوْنَ (dan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun, melainkan setelah ada baginya orang-orang yang memdiberi pringatan. (As-Syu’ara: 208). Lafadz لَهَا مُنْذِرُوْنَ adalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai haal dari lafadz  قَرْيَةٍ, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dianggap sah alasannya ialah ada aksara nafi yang menlampauinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yang muystaq atau bukan jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَكَوْنُهُ مُنْتَقِلاً مُشْتَقَّا *  يَغْلِبُ لكِنْ لَيْسَ مُسْتَحِقّاً
Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq ialah hal yang lumrah, tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas, bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid sudah hadir secara berkendaraan. Lafadz رَاكِيْباً adalah sifat yang mutanaqqil alasannya ialah sifat ini sanggup lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibuat dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat muystaq dalam tiga keadaan:
a.       Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: كَرَّ عَلِيٌ أَسَدًا (Ali menyerang dengan berani menyerupai macan). Takwilanyaشُجَاعَا كَا الأَسَدِ :
b.      Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: بِعْتُكَ اْلفَرَسَ يَدًا بِيَدٍ (aku sudah menjual kuda secara kontan). Takwilanya: مُتَقَابِضَيْنِ
c.       Menunjukkan makna tartib, seperti:  دَخَلَ القَوْمُ رَجُلًا رَجُلًا (kaum itu sudah masuk secara tertib satu persatu). Takwilanya: مُتَرَتِّبَيْنِ.[9]

C.     Macam-macam Haal.

a.       Haal berupa isim mufrad.
Haal mufrod yaitu isim mansub yang disebutkan untuk mengambarkan keadaan fi’il atau maful bih. misal: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا (Telah hadir zaid dalam keadaan berkendaraan). lafadz  رَاكِبًا adalah isim mufrad.
b.      Haal berupa jumlah ismiyah.
misal: حَضَرَ الضُيُوْفُ وَالمُضِيْفُ غَائِبٌ (para tamu hadir, sedang tuan rumahnya tidak ada). Lafadz  المُضِيْفُ غَائِبٌ adalah jumlah ismiyah yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الضُيُوْفُ.

c.       Haal berupa jumlah fi’liyah.
misal: ذَهَبَ الجَانِي تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ  (penjahat itu pergi, saat ia dijaga oleh tentara). Lafadz  تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ adalah jumlah fi’liyah yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الجَانِي.
d.      Haal berupa zharaf.
misal:   رَأَيْتُ الهِلَالَ بَيْنَ السَّحَابِ(aku sudah melihat bulan diantara bulan). Lafadz بَيْنَ  adalah zharaf  yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الهِلَالَ.
e.       Haal berupa jar dan majrur.
misal: بِعْتُ الثَّمَرَ عَلَي شَجَرِهِ  (aku menjual buah yang masih ada di pohonya). Lafadz عَلَي شَجَرِهِ adalah jar dan majrur yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الثَّمَرَ.[10]

IV.   PENUTUP
Dapat disimpulkan,dari klarifikasi diatas sebagaidiberikut:
1.      Haal ialah isim mansub yang mengambarkan prihal atau sikap fa’il atau maf’ul bih yang masih samar.
2.      Shahibul haal ialah terdiri dari tarkib fa’il dan tarkib maf’ul bih.
3.      Syarat-syarat tarkib haal, yaitu:
a.       Harus dengan isim nakirah, dihentikan isim ma’rifat.
b.      Harus setelah kalam yang sempurna
c.       Shahibul haal harus terdiri dari isim ma’rifat.
4.      Macam-macam haal, yaitu:
a.       Haal berupa isim mufrad.
b.      Haal berupa jumlah ismiyyah.
c.       Haal berupa jumlah fi’liyah
d.      Haal berupa zharaf.
e.       Haal berupa jar dan majrur.
5.   Jika haal itu berupa jumlah, maka harus ada penghubung yang menyambungkan dengan shahibul haal, dan ia itu adakalanya berupa wawu saja atau berupa dlamir saja atau kedua-keduanya.

Demikialah makalah yang kami susun, kurang lebihnya kami minta maaf, kami merasa bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat belum sempurnanya, bahkan masih jauh dari sempurna, maka kami pemakalah berharap Koreksi dan masukan yang membangun dan bermanfaa untuk para pemakalah begitu pula bagi kawan-kawan semoga mewujudkan makalah yang lebih baik dan sempurna. Besar impian kami semoga makalah yang singkat ini sanggup bermanfaa bagi pembaca dan pemakalah sendiri.


DAFTAR PUSTAKA
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2009
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Bandung: : Sinar Baru Algennsido, 1995
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2010
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008
 


[1] Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, (Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2009), hlm. 432
[2] Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru Algennsido, 1995), hlm. 147
[3] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2010), hlm. 263-264
[4] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm 264-265
[5] Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, (Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008), hlm. 88
[6] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Op. Cit, hlm. 266
[7] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm. 267
[8] Bahaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Op. Cit, hlm. 433
[9] Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89
[10] Djawahir Djuha, Op. Cit, hlm. 148-150


0 Komentar untuk "Makalah Nahwu Kepingan Hal (الحال )"

Back To Top